"Korban" Fast Fashion




Pernah merasa tidak, kok kualitas produk-produk sekarang menurun dibanding saat kita kecil dulu. Hampir semua jenis produk tidak terkecuali dengan pakaian. Rasanya kain masa kini lebih cepat lusuh dan rapuh. Sehingga kurang tahan lama. Ibu masih menyimpan kain yang hampir 40 tahun lalu dipakai sebagai popok kain anak-anaknya. Selain kagum pada ketelatenan ibu, aku juga terpesona dengan awetnya handuk yang ibu pakai untuk membuat popok kain. Aku sempat membeli cloth diaper sebagai amunisi anak pertama mau toilet training. Harganya lumayan tapi ternyata tak ampuh sama sekali. Visual popok kain made by mother memang jadul, jauh dari kesan gemas. Tapi daya serapnya lebih baik daripada celana popok modern yang gambarnya lucu-lucu. Disini terdapat kesenjangan generasi yang fokus pada fungsi, dengan korban fesyen lucu sepertiku.
Namun, benarkah kualitas produk fesyen semakin tahun kian menurun?

Dibandingkan dengan 10 tahun lalu, jumlah penduduk bumi semakin banyak. Sejalan dengan itu kebutuhan akan barang diklaim akan lebih banyak juga. Memproduksi objek untuk jutaan orang berarti ada peran industri skala besar didalamnya. Menurut Industrial Designers Society of America , desainer industri fokus pada tiga hal, yaitu: penampilan, fungsionalitas, dan proses manufaktur. Nah, proses manufaktur inilah yang menjadi kunci bagaimana produk akhirnya. 

"Iron Snail membandingkan kerah kaos lama dan kaos baru miliknya"


Sebelum masuk abad 20, pakaian dibuat secara khusus dari penjahit kepada pelanggan. Dilakukan dengan seksama, satu per satu, dan handmade. Perubahan industri manufaktur besar-besaran terjadi pasca revolusi industri. Penemuan mesin jahit memungkinkan produksi pakaian dalam jumlah besar dalam waktu lebih cepat.

Kemudian awal tahun 90-an muncul istilah fast fashion (mode cepat) oleh New York Times. Konsep ini dipelopori brand fashion Zara asal Spanyol. Misinya memperkenalkan model bisnis baru yang fokus pada kecepatan dan fleksibilitas sehingga mampu menghadirkan pakaian jadi dengan model terkini dalam hitungan pekan, bukan bulan. Bayangkan mulai dari perancangan desain, pemilihan bahan, proses produksi hingga siap display hanya dalam 15 hari saja.

Langkah ini diikuti perusahaan lain dari berbagai negara seperti H&M, Forever 21, Uniqlo, Primark, Cotton On, Pull & Bear, TopShop, Stradivarius, Berrybenka, Shein, hingga perusahaan non label yang memproduksi dan menjual baju murah untuk ekonomi bawah. Perusahaan-perusahaan ini berlomba-lomba memproduksi pakaian yang banyak dan secepat mungkin. 

Pemain fast fashion akan memberi diskon secara berkala untuk mengatur perputaran stok. Menghabiskan produk lama untuk memasukkan produk baru lagi. Persaingan sengit. Produsen berlomba-lomba menawarkan desain terbaru dengan harga lebih murah kepada konsumen. Untuk itu bila perlu mereka akan "memainkan" bahan. Penggunaan poliester atau nilon yang tidak ramah lingkungan, juga campuran bahan plastik yang kita tidak tahu apa dalam pakaian kita.

Tren fast fashion ini mengubah pakaian dari kebutuhan primer manusia menjadi produk industri yang lebih berfokus pada gaya. Segala upaya dapat dilakukan untuk menghasilkan produk model terbaru, sebanyak-banyaknya, secepatnya, dan harga terjangkau. Untuk menghasilkan sesuatu yang berkualitas -terlebih produksi massal- hampir mustahil dapat dilakukan dengan material yang murah dan proses yang diburu-buru.

Bernadette Banner seorang konten kreator asal Amerika yang tertarik dengan mode fesyen era Victoria. Bernadette seorang yang anti fast fashion, dalam artian membeli pakaian sesuai kebutuhan dan lebih memilih kualitas yang bagus. Keresahan dengan rendahnya kualitas pakaian instan membuatnya melakukan penelusuran lapangan ke toko pakaian untuk mengamati bahan, pola, dan jahitan pakaian yang dijual disana. Dia menemukan berbagai jenis pakaian dengan serat kain yang lebih tipis, longgar, atau kasar. Bagian tepi kain dipotong cepat dengan mesin obras. Ada benang yang masih menjuntai. Mengejutkan karena ini pakaian baru yang sedang dipajang di toko. Ini menunjukkan adanya proses produksi yang terburu-buru, kurangnya kontrol kualitas (QC), dan lemahnya finishing.

Apa yang dilakukan Bernadette sebenarnya seperti yang pernah aku pikirkan jika sedang ada di toko pakaian. Untuk lapak kaos 100 ribu dapat 3 pcs atau toko serba 35.000 sudah dapat ditebak kualitas pakaiannya. Harus seksama memperhatikan dan mengecek kelembutan bahan. Bagi anak dengan kulit sensitif, kurang cocok berbelanja disini. Bahannya bisa membangkitkan alergi dan membuat ruam.

Selanjutnya konter diskon stok baju lama yang ada di mall. Stoknya terbatas yang dipajang, ada juga yang menawarkan diskon satuan, diskon bundel atau buy 1 get 2. Kalau teliti bisa dapat pakaian berkualitas baik dari brand yang sudah bernama. Harga tetap menjadi kunci. Baju yang bahan dan jahitannya bagus, walau diskon, harganya tetap tidak terjun payung. Hanya untuk membersihkan stok saja dia harus disejajarkan dengan pakaian biasa.

Di waktu yang lain, mencari kaos disebuah distro dengan imej eksklusif. Pas ada diskon juga. Berhubung aku bukan pengikut tren terkini, beli pakaian ketinggalan model pun tidak masalah. Bahan dan pola cutting-nya cocok dibadan. Terlihat dari luar oke, setelah diperiksa kualitas jahitannya biasa. 

Kemudian aku teringat salah satu pakaian oleh-oleh. Sebuah abaya hitam bordir dan berhiaskan manik-manik. Tampilannya cantik, aku suka. Kekurangannya dibahan yang tipis jadi menerawang. Agak aneh untuk abaya. Belum lagi potongan pola pada motif di pergelangan. Bordir bukan langsung dikain melainkan disambung terpisah dengan kain di lengan dan pergelangan. Jahitannya tipis dan tidak rapih. Robek hanya pada 3 kali pemakaian. Belum lagi manik-manik yang hanya ditempel saja. Kaget ketika dicuci, direndam air cucian langsung rontok.

"Abaya mode cepat yang cepat rusak."

Dampak yang mengkhawatirkan dari fenomena ini bukan saja pada isu sampah dan limbah. Lebih serius lagi adanya pola pikir yang terbentuk, pergeseran budaya pada masyarakat yang kurang menghargai nilai barang. Kalau ada bagian yang robek, kancing lepas, atau terkena noda yang sulit hilang, akan dengan mudahnya dibuang. Tanpa ada usaha lebih untuk mempertahankan dengan permak atau modifikasi ulang. 

"Barangnya murah. Tidak terlalu bagus bahannya, tidak apa-apa. Yang penting bisa ikut gaya fesyen terbaru."

"Celana robek. Daripada bayar permak, mending beli baru sajalah. Di mall suka ada diskon. Siapa tahu bisa dapat celana model baru."

Jadi, benarkah kualitas produk fesyen semakin menurun? Sepertinya tidak juga. Tergantung dimana kita memperolehnya. Produk berkualitas tetap bisa didapatkan dari produsen atau toko-toko tertentu yang berkomitmen menjaga kualitas bahan dan layanannya. Lebih penting dari itu. Mari jadi konsumen cerdas yang bijak dan bertanggung jawab dalam setiap konsumsinya.

Tulisan tema "Tentang Fashion" ini bagian dari Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog  bulan Juli 2025. Dipandu Mamah Sistha alias aku sendiri, dan Mamah Muti . Jangan ragu untuk menjejak ya.






Referensi:
  • https://www-fashionbeans-com.translate.goog/article/clothing-quality-decline/?http%3A%2F%2F_x_tr_hist=true&_x_tr_sl=en&_x_tr_tl=id&_x_tr_hl=id&_x_tr_pto=tc&_x_tr_hist=true
  • https://majoo.id/solusi/detail/apa-itu-fast-fashion-dan-dampaknya-dalam-industri-fashion#:~:text=Kualitas%20Produk%20Menengah%20Ke%20Bawah,seperti%20produk%20dari%20brand%20premium.
  • https://www.vox.com/the-goods/23529587/consumer-goods-quality-fast-fashion-technology?_x_tr_hist=truewww-vox-com

Comments

  1. u***** emang masuk Fast Fashion, karena pilihan desainnya banyak banget. Tapi di antara brand sejenis Fast Fashion yang “agak” ramah. Dia menerima kondisi Baju bekas merek Dia sendiri yang “katanya” bakal didaur ulang dan dijadiin Baju Baru. Dan prodüksi dia Termasuk tahan lumayan lama ya. Ada kök beberapa Produknya yang menggunakan poliester hasıl dair ulang. Ada juga beberapa produk dia yang tertulis made in Indonesia. Pada Akhirnya memang kembali Ke Konsumen, mau Jadi kornan kapitalisme Atau mengkonsumsi dengan lebih bertanggung jawab.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalau tidak salah, U produksi bajunya mengikuti 4 musim. Mungkin itu salah satu yang membuat Fast-nya. Agak lega kalau produknya berkualitas dan awet. Klaim menggunakan bahan daur ulang, atau menerima baju bekas bagus ya kalau betul2 dilaksanakan. Sebagai responsibility perusahaan terhadap dampak lingkungan produksi mereka.
      Bener, tinggal konsumennya ini. Bijak belanja gak? Trus mau sedikit repot gak mengurus baju2 bekas utk didaur ulang ke U

      Delete
  2. Untuk bahan gamis atau abaya itu kerasa banget deh. Murah tapi bikin gerah. Agak mihil, atau paling ga bahan katun itu baru adem dipakai

    ReplyDelete
    Replies
    1. Setuju teh. Apalagi kalau aktivitas luar seharian. Kalau bahan gak enak tuh selain gerah juga bisa bikin bau badan huhuhu

      Delete
  3. Memang harga yang murah itu, tak bisa dipungkiri, menjadi salah satu daya tarik. Rasanya kok sayang beli baju mahal-mahal untuk baju harian. Mungkin tergantung sikon juga kali ya, kalau buat baju pergi atau baju formal ya nggak apa-apa bayar mahal untuk produk berkualitas.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sesuai kebutuhan aja gitu kali ya teh. Murah gak berarti jelek, mahal juga kadang karena branding. Pinter2 aja kita miliknya ini mah ya

      Delete
  4. Fast fashion ini aspek yang kelewat untuk kutulis berkaitan dengan periode obral besar di Prancis. Tapi aku sepakat: membeli pakaian yang ga masuk dalam kategori fast fashion, meski mungkin agak lebih mahal, lebih baik dari segala aspeknya (kualitas, dampak lingkungan, ...)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Diskon mestinya saling terkait dengan fast fashion ya teh. Apalagi di negara banyak musim..
      Sejujurnya saya suka hunting diskon. Nyari diskonan karena memang ada yang mau dibeli. Bukan karena diskon jadi beli.

      Delete
  5. Teteh, artikelnya bagus. "Membuka mata". Saya suka, Teh Sistha.

    Teh, dari beberapa merek fast fashion yang Teh Sistha sebut, ada 1 yang saya sering beli dan sudah masuk kategori "fans berat" ehehehe. Surprisingly, setiap saya beli di situ, saya dapat baju yang awet sampai kini, jahitannya juga rapih, gak melar meski sudah bertahun tahun. Makanya, saya sampai sekarang masih suka beli di situ.

    Teh, popok kainnya membuatku nostalgia ehehe.😍 Memang, gak perlu membuang dalam sekali pakai, murah dan ramah lingkungan, tapi ketika saya mengingatnya, kasihan banget Mama saya dulu. Cuapek cuci popok. 🥺

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih responnya teh. Senang sekali kalau teteh suka.

      Alasan loyal sama suatu brand biasanya memang karena kualitas ya. Kalau soal mahal jadi relatif, jika awet ya bisa jadi barang murah jadi lebih mahal karena cepet rusak. Eh malah beli lagi.
      Kagum sama ibu yang rajin banget. Saya cuma kuat pakai popok kain pas bayi 1-2 bulan. Setelah itu pakai pospak. Hanya saya bertekad toilet training anak di umur 2 tahunan. Biar ga lama2 nyampahnya hiks

      Delete
  6. Beli kain semeter sekian, uang jahit sekian dan terimakasih, jelas aja kalau ada yang 100 ribu dapat 3 jadi menarik buat dibeli. Tapi memang ada harga ada rupa. Setuju dengan teh sistha, kembali pada pilihan mau beli yang murah umur pendek atau masih mau pilih yang mungkin agak mahal tapi lebih tahan lama.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bener teh. Karena produksi massal bisa menekan biaya produksi, jualnya jadi bisa murah ya. Suami pernah kepincut kaos polos yang 100rb dapet 3.
      Sampai hari ini masih bagus. Memang tipis dan kainnya sudah agak keriting. Dipakai santai di rumah. Bukan buat pergi2. Saya tukang pantau aja, pengendali belanjaan suami haha

      Delete
  7. ia ya, sekarang ini fashion murah pake banget beneran menjamur. Rasanya gampang banget orang buat beli pakaian, lalu nggak akan dipakai lagi. Tumpukan pakaian nggak kepake jadi banyak dan ternyata menambah beban sampah juga.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya teh. Sampai kaget kalau nemu yang murah banget. Trus menduga2 antara bahannya gak enak atau cepet belel nih..
      Anak saya pernah dibelikn 1 stel kaos harga 35rb. Untuk baju anak 3 tahun itu murah bnget kan. Eh anak saya gak cocok. Ruam kulitnya. Ya sudah batu 3 kali pakai, pensiun deh. Mau dikasi ke sepupunya aja yg seumuran. Anaknya ga ada riwayat alergi seperti anak saya

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Denah Tiga Dimensi

Bukan Sekedar Obrolan

8 Keinginan yang Membuat Semangat