Setelah Belasan Tahun

2007 Alhamdulillah aku dinyatakan diterima sebagai mahasiswa ITB. Sejak itulah aku resmi jadi anak rantau. Oh, sebenarnya aku sudah lulus SMA setahun sebelumnya, hanya karena belum tahu tujuan kuliah apa dan dimana jadilah saya ikut saja dengan kakak yang sedang kuliah di Semarang, Jawa Tengah. Maksudnya untuk memberi suasana perjuangan anak kuliahan, soalnya kalau saya di kampung halaman doang terancam santai karena nyaris tidak ada hawa-hawa kompetisi. Apalagi saya model anak rumahan, kalau tidak ada agenda kegiatan maka saya di rumah saja.

Tahun-tahun pertama di ITB adalah masa-masa TPB yang berat. Bukan kuliahnya saja. Penyesuaian dengan lingkungan baru, menu makanan yang beda selera, perkuliahan, perbedaan bahasa dan yang paling berat adalah rindu. Ya, berpisah dengan bapak ibu. Homesick membuatku betul betul sick. Sampai-sampai bapak pernah bilang dalam satu waktu ketika mengunjungiku ke Bandung. Inti perkataan beliau, "kalau ndak kuat mau pulang aja kah?"

Oh NO, susah-susah masuk ITB kok karena kangen gini aja jadi mundur. Bismillah lanjut, Pak!

Ulala.. masuk ITB memang susye tetapi keluarnya ternyata lebih susah yaaa.. wkwk. Ya gimana bapak gak bilang gitu. Wong pas ketemu bapak, aku lagi sakit serius dan beruraian air mata. Pas perpisahan apalagi beuh. Karena tahu akan sangat jarang untuk aku bisa dikunjungi. Aku dan rumahku beda pulau, cost lumayan jadi untuk pulang pun jarang. 

2011 menjadi tahun yang melegakan. Bulan juli menjalani sidang dan dinyatakan lulus. Baru di bulan oktober mengikuti prosesi wisuda di Gedung Sabuga. Banggalah bisa membawa bapak ibu duduk didalamnya. Berasa eksklusif, karena dari prodi (program studi) angkatanku hanya 4 orang yang wisuda saat itu.


Setelah wisuda apakah aku langsung balik ke kampung halaman? Ternyata tidak. Aku mulai terbiasa dan betah. Juga terlibat beberapa proyek berpenghasilan bersama teman-teman. Masa-masa produktif yang menyenangkan. Bapak ibu ingin mengajakku pulang, namun mereka sadar sepertinya peluang karir untuk aku lebih terbuka di Bandung.

Sekitar setahun aku masih jadi anak kosan. Sampai suatu kali bapak menelpon menanyakan kembali niatku apa masih di Bandung atau mau pulang. Dasar aku keras kepala tidak mau pulang. Gaya bener. Seolah sudah lupa bagaimana meweknya aku di tahun pertama dulu. Padahal maksud bapak meneleponku adalah mau memberi instruksi, kalau memang aku mau di Bandung sekalian saja kuliah lagi. Siapa tahu ketemu jodoh. DEG! Ya ampuun ini bapak modus yaa.. dikira bercanda tapi ternyata serius banget. Yang mana yang serius, tentang kuliah atau jodoh? Keduanya yes.

2012 Mengikuti wawancara sebagai syarat pendaftaran mahasiswa magister FSRD. Walaupun sudah bermodal ijazah cap gajah tapi melihat calon mahasiswa lain datang dengan membawa -memamerkan- portofolio karya mereka, sempet bikin keder juga. Aku dan beberapa temanku tidak membawa apa-apa soalnya. Bawa diri aja dengan pakaian rapi.

Eng ing eng. Hasil penerimaan menyatakan selamat datang kembali kepadaku di kampus gajah. Kali ini perasaannnya agak berbeda dengan jaman S1 dulu. Rasa senengnya lebih dirasakan oleh orang tuaku. Aku bukan tidak suka, bersyukur iya. Ya harus dong karena ternyata temen-temen yang membawa-bawa portofolio keren-keren itu tidak diterima. Padahal mereka sudah jauh-jauh datang dari daerah yang jauh di Jawa tengah dan Jawa Timur sana.

Masa perkuliahan dilewati dengan lebih santai. Minim drama. Tidak banyak kongkow. Sambil melanjutkan proyek dengan teman-teman. Tidak hanya kuliah, aku juga menerima ajakan seorang teman lain untuk berorganisasi. Awalnya karena untuk menemani aktivitas teman ini namun ternyata aku aktif juga dan menikmati. Senang hati kegiatan menjadi bervariasi. 


2015. Sekali lagi ke Gedung Sabuga bersama orang tua dan ehem ehem.. Alhamdulillah sudah ada pendamping wisuda. Lagi lagi oktoberian. Soalnya awal tahun lamaran, mei nikahan. Jadi ga kekejar dong mau juli wisudaan. Wkwk..

Setelah sah jadi istri orang, orang tua sudah tidak bisa lagi membujuk-bujuk aku pulang. Aku jelas akan ikut domisili suami, mereka mengerti itu. Dan kami sepakat akan stay di Bandung. Warawiri penyesuaian di awal-awal pernikahan hingga dalam setahun 3x pindahan. Heboh repot dan serunya pindahan. Suasana baru lagi di tempat yang baru. Pas positif hamil sudah stop nomaden-nya. Bumil ga bisa diginiin. Harus jaga kesehatan fisik dan keuangan persiapan buat nanti lahiran. 

2016 Perasaan mules deg-degan saat sidang tidak seberapa bila dibandingkan dengan mules menjelang persalinan. Bagaimana tidak? Perjuangan hidup dan mati katanya, itu yang sering kudengar. Nyatanya aku "dipaksa" melahirkan oleh dokter karena kondisi preeklampsia, demi keselamatan ibu dan bayi. Blank. Bahkan saat di dalam ruang bersalin dan menjalani beberapa prosedur aku masih tidak percaya akan melahirkan secepat ini. Ya kupikir masih 2-4 pekan lagi. Aku belum betul-betul menyiapkan mental dan belum fix menentukan akan lahiran dimana. Allah menunjukkan kekuasaan-Nya, Dia yang pilihkan sebelum aku galau berkepanjangan.

Beberapa jam kemudian. Alhamdulillah proses induksi tidak terlalu lama bukaan sudah sempurna. Akupun resmi menjadi ibu. Rasanya masih belum percaya saat menggendong bayi mungil tak berdaya untuk pertama kalinya. Aku lega. Suami lebih lega. Dia sempat merasa horor banget karena monitor pada peralatan tanda vital yang dipasang padaku sempat menunjukkan lampu kuning. Tidak terbayang olehnya kalau lampu itu berubah jadi merah. Sampai-sampai dia berpikir, kalau disuruh memilih menyelamatkan salah satu antara ibu atau bayi, dia akan mantap menjawab IBU-nya! Saat mendengar itu aku tersapu-sapu eh tersipu-sipu bahagia. Alhamdulillah itu tidak terjadi, bayi dan ibu selamat. 


2019 akhir. Pandemi diumumkan. Dunia sedang dilanda wabah seperti flu yang merusak organ pernapasan akut menyebabkan kematian jutaan jiwa. Corona virus disease alias Covid-19. Angka 19 berasal dari tahun ditemukannya pertama kali di Wuhan, Tiongkok. Negara inipun sigap melakukan karantina satu kota. Bergerak cepat untuk penanganan wabah. Namun virus terlanjur sudah menyebar dan masuk ke indonesia kisaran februari 2000. Ingat sekali karena pada bulan itu aku masih pergi ke bandara Soekarno Hatta dan belum ada pemberlakuan wajib masker atau apapun pencegahan wabah. Penerbangan Internasional kedatangan dan keberangkatan juga bebas. 

Keluarga kecilku begitu taat protokol kesehatan. Karena itu, 2 tahun pandemi ini terasa berat dan bosan karena lebih banyak di rumah. Kami juga tidak menerima kunjungan orang luar ke rumah, kecuali harus patuh prokes. Aku sangat protect ke anak, tidak mau teledor.

Kondisi pandemi ini ternyata membuat keluarga besarku, terutama ibu, selalu mengkhawatirkan kami yang tinggal beda pulau ini. Maklum, Bandung saat itu termasuk zona merah juga letak geografisnya yang dekat dengan jkarta. Apalagi ketika tahu aku hamil lagi. Ibu sudah memikirkan bagaimana nanti kalau aku melahirkan tidak ada yang menemani. Ya memang mengkhwatirkan kesna prosedur di rumag sakut lebih ketat sejak landemi. Tidak ada jam besuk dan jika mau bertemh harus menjadi tes swab. SebenFnya vukan ibu saja yanv cemas, aku juga memikirkan itu. Maka kami memutuzkan untuk hijrah pindah ke kmaoung halamanku sebelum hamil smalin besar dan dilaranv terbang. Mendengar kabar ini, ibu meraza sangat lega. 

2022 kiranya akan serba mudah ketika pindah tinggal dekat dengan keluarga besar. Ternyata tidak selalu begitu. Pertama kali datang pun sudah sedikit terjadi perbedaan sikap. Kami yang sangat ketat prokes berencana isoman  (isolasi mandiri) setidaknya 1 pekan sejak kami datang. Bapak malah meminta kami menginap di rumah sebelum tinggal di kontrakan. Sambutan yang hangat dan akrab. Namun kami cemas takut bawa virus dari kota zona merah. Akhirnya stelah ditolak halus, proses lobi dan penjelasan kami bisa menjalankan isoman. Aku merasa tak enak dengan orang tua. Seolah kami memberi pagar pada kemeriahan sambutan Mereka. Ya aku juga harus menjaga keluarga kecilku terlebih suami yang jadi merantau dan jauh dari keluarga besarnya. 

Kabar mengejutkan juga melegakan datang keesokan harinya. Ibu dan bapak positif corona! DEG. Tentu ini kabar mengejutkan, juga sedih dan cemas. Namun leganya adalah hikmah patuh pada suami sehingga kami terjaga dari wabah ini. Suami menelepon orang tuanya untuk memberi tahu kabar mertuanya kena covid. Sudah diduga mereka khawatir dan meminta kami cek, terlebih bumil dan anak-anak resiko tinggi tertular. Kami tidak langsung cek namun menunggu kabar kepastian siaoa saja di rumah orang tuaku yang positif. Ternyata bapak dan ibu saja, adik dan ipar yang tinggal seatap negatif. Alhamdulillah kami aman karena setelah isoman semua kondisi sehat. Bapak ibupun setelah menjalani karantina mandiri di rumah selama 2 pekan, kembali sehat sedia kala. Anak dan cucu saling menjenguk memberi semangat, perhatian dan cinta walau hanya sampai teras saja. 

Covid-19 memberi hikmah yang banyak. Memutus hingar bingar dunia, membirukan kembali langit yang abu-abu, mengajarkan untuk lebih menjaga kebersihan, menyadarkan akan besarnya nikmat kesehatan, juga memberi makna yang dalam akan berharganya sebuah pertemuan. Betapa menyenangkan dan seru saat berkumpul. 

2006 ke 2022. Bukan waktu yang singkat. Namun bisa tinggal dekat lagi dengan keluarga besar adalah sebuah hal yang patut disyukuri. Dengan begini lebih terasa bahwa ketika berjuang di kota ini, kami tidak lagi sendiri.


Tulisan ini untuk meramaikan nulis kompakan Mamah Gajah Ngeblog, Oktober 2022 dengan tema kumpul-kumpul.

4 comments:

  1. Alhamdulillah Teh Sistha, semua pengalaman 'naik turun' Teh Sistha bisa dilalui dengan optimal dan semangat. Ikut seneeng banget bacanya, Teh. :) Btw, jadi sekarang Teh Sistha tinggal di kota apa?

    ***

    Ehehehe aduh kok kisahnya sama Teh, tentang pertama kali menjadi mahasiswa ITB yang jauh dari rumah. Saat semester 1, saya sempat pulang ke kampung halaman selama sebulan full, Teh, wkwkwkwk, karena sakit 'malarindu' yang berujung jadi sakit beneran. Akhirnya sama Mama diajak pulang dan dirawat di rumah. Kelemahan anak rantau nih ehehe, awal-awal kuliah, pasti kangen pol sama keluarga di rumah. :(

    ReplyDelete
  2. Alhamdulillah yaaa teh, akhirnya bisa berkumpul dengan keluarga besar, setelah perjuangan hidup jatuh-bangun jauh dari keluarga.

    ReplyDelete
  3. Wah....tulisan ini bisa dibilang mini memoar Sistha. Sama nih kita, geng susah masuk susah keluar dari ITB. Perlu dinikmati pelan-pelan emang ya.

    ReplyDelete
  4. Wah, gimana rasanya teh bisa kembali ke kota yang dekat keluarga besar? Aku sejak kuliah merantaunya malah makin jauh, dan setelah titik tertentu, rasanya aneh kalau kembali, hehehe. Udah kebiasa jadi anak rantau hehehe...

    ReplyDelete