Perjuangan Menerima Diri Sendiri

Kata-kata sangat powerfull. Dia bisa membuat orang bersemangat, sebaliknya bisa membuat orang terluka bahkan secara ekstrim menjadi trauma. Belasan tahun setelah denial akan kondisi diri, merasa tidak apa-apa, tidak pantas atau malu bercerita ke siapa-siapa sehingga membuat aku jadi orang yang tetutup. Satu hal yg membuatku bersyukur ternyata itu membuatku hanya punya satu tempat curhat yaitu kepada Tuhanku, Allah SWT. Aku yang pemalu ini memberanikan diri menulis hal yang aku merasa tabu. Bagiku ini seperti menantang diri untuk berani, semoga cukup layak memenuhi kriteria Tantangan MGN bulan September 2023 tentang Pengalaman Menghadapi Tantangan Terbesar dalam Hidup

Julukan masa kecil

Namanya anak kecil, hal biasa kalau lucu lalu mendapat sebutan-sebutan yang juga bikin gemas. Aku juga ada. Disingkat 3E alias “Esek, Elek, Endek”. Kalau disebut begitu semua orang akan tertawa ya termasuk aku. Tiga kata dari bahasa Jawa itu bermakna pesek (hidung yang tidak mancung), elek (jelek), dan pendek (terkait tinggi badan). Ah luar biasa memang. Julukan itu teringat terus sampai aku besar. Dan semakin banyak pengalaman dan semakin mengerti artinya membuat aku tidak menyukai diriku.

Aku tidak tau kenapa dilabel pesek. Memang aku tidak mancung jika maksudnya seperti orang bule Eropa, tapi akupun tidak pesek. Biasa saja. Aku tidak cantik, jika mengambil standar kecantikan pada umumnya. Mungkin itu sebab aku dilabel elek. Untuk endek jelas karena aku pendek. Betul-betul kecil sampai rok sekolah size terkecil, menjadi rok panjang jika kupakai.

Adik yang Cantik

Memiliki saudara yang elok harusnya membuat senang atau bangga. Sepertinya aku berusaha seperti itu. Jarak usia kami 3 tahun tapi karena aku kecil jadi orang suka mengira aku adiknya, dan adikku adalah kakaknya. Awal-awal dibilang seperti itu aku baper berat. Lama-lama kebal. Mau bagaimana lagi kami sering sekali bersama. Terlepas dari omongan orang, hubunganku dengan adik sangat dekat. Adikku orangnya baik dan –sayangnya- lugu, karena itulah walau aku sering dibanding-bandingkan dengannya aku tidak bisa membencinya. Aku memendam semua perasaan itu sendiri.

Ucapan orang-orang membuatku minder

Diantara ketiga label yang kusebutkan diatas, label elek yang paling sering kudengar. Karena ternyata aku mendapat kata-kata serupa cukup banyak dari orang lain. Sayangnya ternyata aku baper sampai minder dibuatnya. Potensi yang aku punya, ikut terkubur bersama rasa tidak percaya diri. Jalan dengan kepala dan bahu menunduk. Komentar lagi-lagi datang soal itu. Bukan dari orang lain melainkan keluarga sendiri. Belum lagi diskriminasi atas sikap orang-orang kepada si cantik dan yang tidak.


Mirip Ibu

Namanya anak ya wajar mirip dengan orang tuanya. Itulah aku. Semakin besar, semakin mirip dengan Ibu. Baik postur tubuh, wajah hingga tinggi badan. Sampai-sampai aku punya tekad harus lebih tinggi dari Ibu. Dan ternyata berhasil. Aku beberapa cm lebih tinggi darinya.

Berbeda dengan adik, hubunganku dengan Ibu kurang harmonis. Aku pernah didiamkan beliau selama 3 hari. Saat itu aku masih SMP. Sebabnya aku tidak menjawab ketika disuruh belanja ke warung. Aku ingin menolak tapi masa alasannya malu? Bisa jadi anak durhaka, maka aku memilih diam. Itu pikiranku saat itu. Ternyata bernasib dicuekin sama Ibu. Istilah sekarang silent treatment, sebuah bentuk komunikasi tidak sehat.


Masa-masa Kuliah

Walau sempat nganggur setahun setelah lulus SMA, aku bersyukur diterima di kampus gajah. Memulai hidup baru di kota yang baru, aku merasa merdeka. Ibu Bapak bangga anaknya masuk ITB. Siapa yang sangka aku yang minim prestasi ini. Persoalan masuk beda ya dengan perjuangan untuk keluar ITB haha. Seorang diri di perantauan dan harus beradaptasi dengan lingkungan, bahasa dan makanan yang baru ternyata menjadi tahun-tahun yang cukup berat untukku. Homesick hingga sick beneran selama setahun TPB. Sulit karena aku tidak bisa ikut kegiatan kaderisasi KMSR (Keluarga Mahasiswa Seni Rupa) yang prosesnya selama 1 tahun dan biasanya sampai larut malam. Sungguh setahun yang emosional.

Begitulah aku sampai di tahun ketiga mulai terbiasa dan menikmati Kota Bandung. Di tahun inilah, adikku menyusul ke Bandung. Alhamdulillah dia diterima Kedokteran Gigi UNPAD. Kuliahnya bukan di UNPAD Bandung, tapi di Jatinangor. Beda kota tapi jarak kami dekat, mudah dan murah bisa naik Bus Damri. Cukup sering juga kami saling berkunjung, agar Ibu Bapak juga tidak terlalu khawatir anak-anak gadisnya jauh di rantau.

"Me and My Little Sister"

Selesai studi di Jatinangor, adik pindah ke Bandung untuk menjalani masa koas di RSGM (Rumah Sakit Gigi dan Mulut) UNPAD Bandung. Kami tinggal satu kosan, beda kamar. Karena sudah satu kota kami kembali sering bepergian dan aktivitas bersama. Tak jarang dia main ke ITB lalu bertemu dan aku kenalkan dengan teman-teman satu Program Studi. Biasanya kami bertemu di sekitar Masjid Salman. Sejujurnya ada rasa insecure kalau dibanding-bandingkan lagi. Ya ada aja sih tapi ya dianggap bercanda sajalah. Ha- ha-

Kupikir semua sudah damai ya. Sampai suatu kepanitiaan non kampus. Seorang bapak muda mempertanyakan bahkan heran apakah aku dan adikku benar-benar saudara? Dengan berlagak bercanda aku beranikan diri tanya alasan, dia tidak menjawab dengan jelas. Aku mengerti arah pembicaraannya. Sampai bertanya-tanya apa aku seburuk itu ya?

Di kesempatan lainnya, aku kembali harus berurusan dengan bapak itu. Biasanya aku orang yang suka bercanda tapi sejak obrolan kecil itu aku jadi menghindar bicara dengan si bapak. Allah seperti ingin menghiburku, Dia menunjukkan kepadaku bahwa masalah bukan ada padaku. Si Bapak itu ternyata matanya suka “travelling”. Kalau melihat perempuan maka fisik adalah hal yang diperhatikannya.

Lebih Baik Fokus dengan Value Diri, Yes

Menuju Pernikahan

Bagian mendebarkan juga ini. Di satu sisi bersyukur pernah kenal dan berteman dengan lelaki yang dia merasa cocok denganku, lalu mantap saja langsung ingin melamar. Setelah menikah barulah aku tahu ceritanya, perjuangan dia mengenalkanku sampai mendapat restu. Kami tidak pacaran, kenal juga karena pernah satu organisasi. Hal yang baru di keluarganya, sehingga wajar kalau kedua orang tuanya merasa ragu. Apalagi ini perempuan jauh asal Kalimantan. Syukurnya kakanda teguh dan bisa meyakinkan. Setelah oke dari keluarganya, dia menelpon orang tuaku meminta ijin. Ini menjadi berita yang menggemparkan di keluargaku. Siapa sangka aku yang tidak pernah mengenalkan pacar ke bapak, tiba-tiba ada yang menelpon mau menikahi putrinya. Rasanya juga senang banget bisa memberikan kabar bahagia ke Ibu Bapak.

Proses selanjutnya adalah berkenalan dengan orang tuanya. Kami semua posisi di Bandung, sedangkan rumahnya di Tangerang Selatan. Maka rencananya kami akan pergi naik travel bertiga, aku ditemani oleh adikku. Kebayang kan bagaimana gugupnya mau ketemu calon mertua. Overthinking tak terhindarkan. Terutama bagian, bagaimana kalau beliau berharap punya menantu cantik? Jelas aku hanya bisa tersenyum. Malamnya aku menelpon orang tua meminta doa dan kelancaran. Salah satu pertanyaan dari seberang telepon, “Nanti engga salah orang kan ya, dikira adek calonnya.” Ditanya seperti itu aku yang gugup gembira berubah menjadi sedih down seketika. Terdiam berganti jadi air mata. Aku kehilangan kata-kata. Lalu menjawab pendek-pendek, salam, tutup telepon. Ah, mungkin bercanda. Aku terlalu baper saja.

"Hidup adalah Tantangan"
 

Syukur Adalah Kunci

Alhamdulillah, Allah pertemukan dengan pasangan hidup ajaib seperti bisa membaca perasaanku. Dialah orang pertama yang aku berani cerita tentang diriku. Pelan-pelan aku belajar mencintai diri-sendiri. Sekarang kalau ada yang bilang aku mirip Ibu, aku akan jawab “Ya kan Anaknya Ibu!”. No Baper detected. Hehe