Perjuangan Menerima Diri Sendiri
Julukan masa kecil
Namanya anak kecil, hal biasa kalau
lucu lalu mendapat sebutan-sebutan yang juga bikin gemas. Aku juga ada.
Disingkat 3E alias “Esek, Elek, Endek”.
Kalau disebut begitu semua orang akan tertawa ya termasuk aku. Tiga kata dari
bahasa Jawa itu bermakna pesek
(hidung yang tidak mancung), elek
(jelek), dan pendek (terkait tinggi
badan). Ah luar biasa memang. Julukan itu teringat terus sampai aku besar. Dan
semakin banyak pengalaman dan semakin mengerti artinya membuat aku tidak
menyukai diriku.
Aku tidak tau kenapa dilabel pesek. Memang aku tidak mancung jika maksudnya seperti orang bule Eropa, tapi akupun tidak pesek. Biasa saja. Aku tidak cantik, jika mengambil standar kecantikan pada umumnya. Mungkin itu sebab aku dilabel elek. Untuk endek jelas karena aku pendek. Betul-betul kecil sampai rok sekolah size terkecil, menjadi rok panjang jika kupakai.
Adik yang Cantik
Memiliki saudara yang elok harusnya membuat senang atau bangga. Sepertinya aku berusaha seperti itu. Jarak usia kami 3 tahun tapi karena aku kecil jadi orang suka mengira aku adiknya, dan adikku adalah kakaknya. Awal-awal dibilang seperti itu aku baper berat. Lama-lama kebal. Mau bagaimana lagi kami sering sekali bersama. Terlepas dari omongan orang, hubunganku dengan adik sangat dekat. Adikku orangnya baik dan –sayangnya- lugu, karena itulah walau aku sering dibanding-bandingkan dengannya aku tidak bisa membencinya. Aku memendam semua perasaan itu sendiri.
Ucapan orang-orang membuatku minder
Diantara ketiga label yang
kusebutkan diatas, label elek yang
paling sering kudengar. Karena ternyata aku mendapat kata-kata serupa cukup
banyak dari orang lain. Sayangnya ternyata aku baper sampai minder dibuatnya.
Potensi yang aku punya, ikut terkubur bersama rasa tidak percaya diri. Jalan
dengan kepala dan bahu menunduk. Komentar lagi-lagi datang soal itu. Bukan dari
orang lain melainkan keluarga sendiri. Belum lagi diskriminasi atas sikap orang-orang
kepada si cantik dan yang tidak.
Mirip Ibu
Namanya anak ya wajar mirip dengan
orang tuanya. Itulah aku. Semakin besar, semakin mirip dengan Ibu. Baik postur
tubuh, wajah hingga tinggi badan. Sampai-sampai aku punya tekad harus lebih tinggi
dari Ibu. Dan ternyata berhasil. Aku beberapa cm lebih tinggi darinya.
Berbeda dengan adik, hubunganku
dengan Ibu kurang harmonis. Aku pernah didiamkan beliau selama 3 hari. Saat itu
aku masih SMP. Sebabnya aku tidak menjawab ketika disuruh belanja ke warung. Aku
ingin menolak tapi masa alasannya malu? Bisa jadi anak durhaka, maka aku
memilih diam. Itu pikiranku saat itu. Ternyata bernasib dicuekin sama Ibu.
Istilah sekarang silent treatment, sebuah
bentuk komunikasi tidak sehat.
Masa-masa Kuliah
Walau sempat nganggur setahun setelah lulus SMA, aku bersyukur diterima di
kampus gajah. Memulai hidup baru di kota yang baru, aku merasa merdeka. Ibu
Bapak bangga anaknya masuk ITB. Siapa yang sangka aku yang minim prestasi ini.
Persoalan masuk beda ya dengan perjuangan untuk keluar ITB haha. Seorang diri
di perantauan dan harus beradaptasi dengan lingkungan, bahasa dan makanan yang
baru ternyata menjadi tahun-tahun yang cukup berat untukku. Homesick hingga sick beneran selama setahun TPB. Sulit karena aku tidak bisa ikut
kegiatan kaderisasi KMSR (Keluarga Mahasiswa Seni Rupa) yang prosesnya selama 1
tahun dan biasanya sampai larut malam. Sungguh setahun yang emosional.
Begitulah aku sampai di tahun ketiga mulai terbiasa dan menikmati Kota Bandung. Di tahun inilah, adikku menyusul ke Bandung. Alhamdulillah dia diterima Kedokteran Gigi UNPAD. Kuliahnya bukan di UNPAD Bandung, tapi di Jatinangor. Beda kota tapi jarak kami dekat, mudah dan murah bisa naik Bus Damri. Cukup sering juga kami saling berkunjung, agar Ibu Bapak juga tidak terlalu khawatir anak-anak gadisnya jauh di rantau.
"Me and My Little Sister" |
Selesai studi di Jatinangor, adik
pindah ke Bandung untuk menjalani masa koas di RSGM (Rumah Sakit Gigi dan
Mulut) UNPAD Bandung. Kami tinggal satu kosan, beda kamar. Karena sudah satu
kota kami kembali sering bepergian dan aktivitas bersama. Tak jarang dia main
ke ITB lalu bertemu dan aku kenalkan dengan teman-teman satu Program Studi.
Biasanya kami bertemu di sekitar Masjid Salman. Sejujurnya ada rasa insecure kalau dibanding-bandingkan
lagi. Ya ada aja sih tapi ya dianggap bercanda sajalah. Ha- ha-
Kupikir semua sudah damai ya. Sampai
suatu kepanitiaan non kampus. Seorang bapak muda mempertanyakan bahkan heran
apakah aku dan adikku benar-benar saudara? Dengan berlagak bercanda aku
beranikan diri tanya alasan, dia tidak menjawab dengan jelas. Aku mengerti arah
pembicaraannya. Sampai bertanya-tanya apa aku seburuk itu ya?
Di kesempatan lainnya, aku kembali harus berurusan dengan bapak itu. Biasanya aku orang yang suka bercanda tapi sejak obrolan kecil itu aku jadi menghindar bicara dengan si bapak. Allah seperti ingin menghiburku, Dia menunjukkan kepadaku bahwa masalah bukan ada padaku. Si Bapak itu ternyata matanya suka “travelling”. Kalau melihat perempuan maka fisik adalah hal yang diperhatikannya.
![]() |
Lebih Baik Fokus dengan Value Diri, Yes |
Menuju Pernikahan
Bagian mendebarkan juga ini. Di satu
sisi bersyukur pernah kenal dan berteman dengan lelaki yang dia merasa cocok
denganku, lalu mantap saja langsung ingin melamar. Setelah menikah barulah aku
tahu ceritanya, perjuangan dia mengenalkanku sampai mendapat restu. Kami tidak
pacaran, kenal juga karena pernah satu organisasi. Hal yang baru di keluarganya,
sehingga wajar kalau kedua orang tuanya merasa ragu. Apalagi ini perempuan jauh
asal Kalimantan. Syukurnya kakanda teguh dan bisa meyakinkan. Setelah oke dari
keluarganya, dia menelpon orang tuaku meminta ijin. Ini menjadi berita yang
menggemparkan di keluargaku. Siapa sangka aku yang tidak pernah mengenalkan pacar
ke bapak, tiba-tiba ada yang menelpon mau menikahi putrinya. Rasanya juga
senang banget bisa memberikan kabar
bahagia ke Ibu Bapak.
Proses selanjutnya adalah berkenalan
dengan orang tuanya. Kami semua posisi di Bandung, sedangkan rumahnya di
Tangerang Selatan. Maka rencananya kami akan pergi naik travel bertiga, aku
ditemani oleh adikku. Kebayang kan bagaimana gugupnya mau ketemu calon mertua. Overthinking tak terhindarkan. Terutama bagian,
bagaimana kalau beliau berharap punya menantu cantik? Jelas aku hanya bisa
tersenyum. Malamnya aku menelpon orang tua meminta doa dan kelancaran. Salah satu
pertanyaan dari seberang telepon, “Nanti
engga salah orang kan ya, dikira adek calonnya.” Ditanya seperti itu aku
yang gugup gembira berubah menjadi sedih down
seketika. Terdiam berganti jadi air mata. Aku kehilangan kata-kata. Lalu menjawab
pendek-pendek, salam, tutup telepon. Ah, mungkin bercanda. Aku terlalu baper
saja.
Syukur Adalah Kunci
![]() |
Alhamdulillah, ikut senang bacanya Teh Sistha, pelukkk
ReplyDeleteVirtual hug juga buat teteh...
DeleteTantangan bulan ini emosional sekali yaa
Peeeluuuk ... Semangat teh Sistha.
ReplyDeleteMakasih teh Dewi 🤗
DeletePeluuk.. semangat teh! Semua orang punya plus dan minus. Btw sedih juga ya ga bisa ikut masa TPB. Aku homesick tapi paling kecapean aja seringnya. Tapi ospek SR sebenarnya lebih ke seru2an aja juga sih
ReplyDeleteIkut beberapa kali, ada juga yg dipaksa temen tapi ya jadi kurang enjoy, kwtr kesehatan badan.
DeleteOspek gitu yg kerasanya menjalin keakraban sama tmen2 angkatan
Mencintai diri sendiri itu memang proses yang panjang ya Sistha.
ReplyDeleteIya teh.. dan cukup menguras emosi hehe
DeleteSemangat selalu mbak Sistha. Tetap percaya diri dengan segala berkat yang sudah Allah berikan.
ReplyDeleteSemangat! Dengan menerima kekurangan diri pelan2 jadi bangkit dan hepi!
DeleteTeh Sistha, alhamdulillah ikut senang membaca perjalanan Teteh mencintai diri sendiri. Inspiratif ini Teh, bisa menjadi sebuah pep talk bagi generasi muda yang sedang merasakan insecure.
ReplyDeleteBetul sekali, keluarga menjadi sebuah 'senjata' yang kuat bagi kita untuk melangkah. Semoga kita senantiasa mampu dan mau memberi support yang positif untuk keluarga terdekat kita.
Sisthaa perasaannya valid. Kadang aku jg merasa baperan banget. Cuma mengelola baper banget itu sih masih PR aku mah 🫠🫠
ReplyDeleteSama nih. Aku juga sangat insecure dengan diriku. Bukan secara fisik sih, lebih karena merasa tidak kompeten dalam banyak hal. Kadang-kadang masih begitu juga sampai sekarang, malah orang lain yang banyak mengingatkan kalau aku pun punya kelebihan.
ReplyDelete