Berharap Tanpa Ragu


Baru-baru ini Adit kehilangan ponsel khusus kerjaan. Sudah bongkar-bongkar rumah, sampai mengecek CCTV kantor tidak ada titik terang. Berharap teman kantor ada yang menemukan. Dua hari berlalu. Nihil.

Adit memang ceroboh. Mau dirahasiakan tapi dia butuh bantuan Tia, istrinya, untuk mencari di rumah. Kehilangan HP juga berarti harus mengganti senilai jutaan rupiah. Itu bukan jumlah yang sedikit. Adit takut istrinya marah.

Kekhawatirannya tidak terbukti. Tia malah terlihat tenang. Apa jangan-jangan disembunyikan? Gara-gara dirinya sering lebih asik bermain game online setiap pulang kantor. Sebabnya akhir-akhir ini ada tuntutan lebih dari tim di permainan dunia maya itu.

Adit mencoba menelepon. Ada suara hubungan tersambung, meski tidak ada yang mengangkat. Adit yakin ada di suatu tempat, bukan dicuri. Tapi dimana?

Kehilangan ini membuat Adit merenung dan introspeksi diri. Ini pasti teguran Tuhan atas kelalaiannya. Adit meminta maaf kepada istrinya. Padahal istrinya tidak marah atau mengomel. Justru itulah yang membuatnya semakin bersalah. Dia mengakui telah terlalu asik bermain game. Tia pernah menegur, tapi tidak terlalu digubrisnya. “Aku kan capek pulang kerja, bersantai dululah.” Adit membela diri. Tanpa dia sadari lebih dari 2 jam berlalu. Istri seolah hanya penjaga rumah dan pelayan anak-anak. Padahal ada nafkah atas ketenangan batin istri yang menjadi kewajibannya sebagai suami.

Mendengar pengakuan dan penyesalan Adit, Tia mengiyakan. Mungkin Adit kualat membuat istrinya kecewa lalu kena batunya. Ponsel kedua khusus untuk kerjaan, malah dipakai main. Adit merasa lega, Ita tidak marah. Diam-diam dia membuat janji kalau tidak akan main game daring lagi.

-------------

Hari ketiga. Adit pulang kerja lebih awal dari biasanya. Kejadian hilang ponsel masih berefek dengan semangat kerjanya. Baru mau berganti pakaian, tiba-tiba ada telepon masuk ke ponsel pribadinya. Tia memperhatikan ekpresi Adit, dari salam formal menjadi semangat dan terima kasih. Sepertinya Tia bisa menebak isi percakapannya.

Tepat sekali! Barusan telpon dari seorang ibu petugas kebersihan yang mengabarkan kalau dia menemukan ponsel Adit di jalan dekat perempatan lampu merah. Sepertinya terjatuh dari kantong saat perjalanan pergi ke kantor dan Adit tidak menyadarinya. Ibu itu berusaha berteriak memanggil, namun bising suara kendaraan membuat Adit tidak mendengarnya. 

Adit membuat janji bertemu ibu penemu besok pagi sebelum jam 8. Adit menyiapkan amplop sebagai ucapan terima kasih. Ibu tersebut menolak. Apa mungkin karena sedang pakai baju dinas petugas kebersihan ya? Entahlah. Mungkin akan diterima jika berupa barang atau makanan. Sedikit menyesal karena gagal berbagi. Tia berkata, “Kita do’akan saja. Biar Allah yang balas kebaikannya. Semoga ibu sehat-sehat selamat ya.”

Adit berjumpa lagi dengan ponsel berisi game. Apakah omongannya bisa dipegang? Segera Adit mengisi daya. Saat baterai cukup terisi, Adit langsung mengecek aplikasi game itu. Lalu main dan terlihat sedang mengetik di balon percakapan. Tia menunjukkan raut kecewa, tapi dia diam saja memperhatikan. Adit masih terlihat serius dan sibuk dengan ponselnya. Tak lama selesai. Adit menjelaskan bahwa dia baru saja berpamitan dengan ketua dan anggota dalam permainan. Lalu dengan mantap Adit uninstall hobi yang mulai menjadi racun bagi diri dan keluarga tercinta.

Adit memeluk istrinya. Membuat Tia bahagia dan takjub juga. Bagi Tia ada hal diluar nalar dari kejadian lost and found ini. Selama dua hari itu Tia tidak banyak bicara sebab dia sedang berdialog dengan diri sendiri. Tia merasa apakah memang kejadian ini jawaban atas doa agar suaminya lepas dari kebiasaan berlama-lama dengan ponsel? Sehingga kurang memperhatikan dirinya dan tidak fokus lagi diajak bicara.

Di malam kedua setelah suaminya meminta maaf dan mengaku salah, Tia berucap dalam hati.

“Ya Allah, aku percaya jika handphone ini masih rejeki kami dia akan kembali. Tapi kalau memang sudah habis waktu kepemilikan. Kami pasrah dan ikhlas. Semoga ini membawa kebaikan.”

Ketika mendapat kabar ponsel ditemukan. Tia menyeru nama Tuhannya. Rasanya mustahil ponsel hilang sudah 3 hari, mendadak ketemu. Dan dia teringat gumamannya malam itu. Allah mengembalikan apa yang masih menjadi rejeki kami.

Berhari-hari Tia merenungi kejadian itu. Kejutan-kejutan pengabulan seperti inilah yang membuatnya tidak pernah ragu pada Tuhan. Dia sering meminta hal remeh hingga harapan besar.

Mintalah kepada Allah bahkan meminta tali sandal sekalipun. (HR. Al Baihaqi)

* * *

Salah satu harapan besar itu berkaitan dengan pasangan hidup. Mendekati usia 25 tahun, pertanyaan dari sang ayah yang mengarah pada pernikahan semakin intens. Ayahnya tidak punya calon, jadi diserahkan pada Tia. Barangkali putrinya itu diam-diam sudah punya pacar. Tia tidak berniat pacaran. “Tidak pacaran bukan berarti tidak bisa menikah, kan?” Begitu pikirnya.

Kekhawatiran ayahnya beralasan. Tia bukan anak yang aktif bersosialisasi. Secara penampilan pun dia biasa saja. Bukan yang akan membuat kaum adam terpana melihatnya. Namun di masa bocah dulu, beberapa anak lelaki pernah bilang suka padanya. Itu berarti Tia punya daya tarik sendiri yang hanya bisa dideteksi oleh orang-orang yang mengenalnya. Persis seperti pepatah “Tak kenal maka tak sayang”.

Tia harus berusaha “mempromosikan” diri. Tia tidak minat pacaran, tapi dia juga tidak ingin menikah dengan orang yang tidak dikenalnya. Salah satu cara, dia memutuskan terlibat aktif pada sebuah komunitas. Ternyata kehadiran Tia berdampak baik pada kemajuan kegiatan di komunitas. Ide dan eksekusinya menjadi andalan. Tanpa dia sadari dirinya menjadi dikenal. Sering dilibatkan dalam rapat-rapat internal pengurus.

Upaya promosi diri menunjukkan keberhasilan. Bagaimana dengan jodoh? Apakah Tia bertemu dengan seseorang yang menarik hatinya? Iya, ada!

Apa yang Tia lakukan selanjutnya? Apakah ada strategi pendekatan khusus? Tidak ada. Tia terlalu pemalu mengakui perasaannya. Bahkan dia sanggup tidak curhat kepada siapapun, kecuali Tuhan. Tia punya kriteria wajib yaitu ibadahnya baik, peduli, dan tidak merokok. Dia telah menemukannya, namun apakah laki-laki itu memiliki perasaan yang sama?

Tia tidak cukup yakin apakah perasaannya akan berbalas? Dan lagi target dia bukan untuk pacaran, tapi menikah. Mungkinkah? Saling kenal dan interaksi hanya urusan komunitas dan berlangsung setahun saja. Komunikasi Tia dan laki-laki itu cukup sering lewat chat pribadi. Mereka harus koordinasi untuk persiapan event. Dua orang ini ditunjuk untuk jadi penanggung jawab bagian pendanaan. Grup besar terlalu berisik dan seringkali out of topic. Sedangkan mereka harus berpikir dan bergerak mengumpulkan bahan bakar acara. Uang. Pressure sekali.

Penyelenggaraan event komunitas sukses. Sebagai penanggung jawab bagian vital, Tia dan rekan laki-lakinya mendapat pujian. Mereka berdua berhasil mengumpulkan dana. Kas komunitas pasca event biasanya minus, kali ini surplus. Pada rapat evaluasi, ketua komunitas menyanjung dan berterimakasih pada keduanya. Mereka dinilai bekerja dengan semangat dan kompak. Bahkan terang-terangan didepan banyak orang menyebut mereka berdua jodoh. Peserta rapat pun menjadi riuh ramai. Tia merasa kikuk.

Dia khawatir disalahpahami oleh rekan kerjanya itu yang bisa jadi membuat komunikasi mereka yang asik menjadi canggung.

Tidak apalah, toh panitia event susah selesai. Mereka tidak perlu komunikasi intens lagi. Lagipula dia tidak berencana akan berlama-lama di komunitas ini. Tia mencoba menghibur diri, meski dalam hati dia merasa agak sedih.

Manusia punya harapan, Tuhan yang menentukan. Beberapa waktu setelah rapat evaluasi berakhir, laki-laki itu menghubungi Tia. Memberi pesan yang membuat Tia sulit untuk percaya. Dia yakin tidak sedang bermimpi. Ya, pria bernama Adit meneleponnya untuk menyampaikan maksud diri ingin menikahinya!

Gemetar, grogi dan bahagia melebur jadi satu dalam hatinya. Tia segera menyampaikan kabar ini kepada kedua orang tuanya. Luar biasa bahagia dan gempar keluarga Tia. Dua hari kemudian, seorang diri Adit datang memperkenalkan diri pada orang tua Tia. Seminggu berselang, Tia berkenalan dengan orang tua Adit. Empat bulan kemudian pertemuan kedua orang tua sekaligus lamaran dan penentuan bulan pernikahan. Adit begitu bersemangat, sampai semua mengira dia sudah kecintaan dengan Tia.

Hari bahagia digelar enam bulan kemudian. Tia dan Adit resmi menjadi pasangan suami-istri. Orang-orang di komunitas menggoda mereka dengan memberi julukan, “Pasangan Surplus”. Sepanjang resepsi, Tia dan Adit terlihat begitu bahagia.

 

* * *

Mengingat masa lalu, membuat Tia tersenyum bersyukur. Allah mempertemukannya dengan jodoh yang sudah dikenalnya sebelum menikah. Sebelum setuju menikah dengan Adit, dia mengenal pria ini bukan seorang perokok. Persis seperti harapannya.

Bukan hanya itu. Tia juga seperti mendapat bonus. Ternyata dari keluarga suaminya tidak ada seorang pun yang merokok. Baik mertua hingga ipar-iparnya.

Benar-benar ya kalau punya harapan tidak boleh ragu. Karena kita sedang meminta kepada Yang Maha Kuasa.

                                                                                                                                                                     

Bermimpilah, maka Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu. Quote Andrea Hirata dalam “Sang Pemimpi”.


* * *
Kisah seseorang dengan adaptasi untuk kebutuhan  ‘Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog’ bulan November 2025 tentang "Di Luar Logika" usulan Mamah Ririn.



Comments

  1. Keren fiksinya

    ReplyDelete
  2. Betul, minta apapun ke Allah, padahal hal remeh itu bisa terkabul. Pernah kacamataku hilang, atau jam tangan juga pernah, 3 hari lewat aku doa ke Allah. dan ketemu dong! Selalu ingat Yang Maha Kuasa, hal-hal di luar kebiasaan/logika bisa kejadian

    ReplyDelete
  3. Setuju.. banyak masalah yang tidak bisa dicari penyelesaiannya dengan logika. Satu satunya jalan memang berserah kepada Sang Pencipta

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

8 Keinginan yang Membuat Semangat

Drama yang Mewakili Opini Tak Populerku

Setelah Tercapai Impian Waktunya Bertahan