Rejeki Tak Pernah Salah Alamat

Pernah dengar ungkapan itu? Sering mungkin ya. Tapi seberapa yakin kita?

Aku mau berbagi cerita pengalaman Bapak waktu dulu masih aktif PNS (sekarang disebut ASN) di Departemen yang mengurus persoalan tenaga kerja, baik orangnya termasuk instansi atau perusahannya. Dalam kesehariannya di kantor, Bapak banyak berhubungan dengan orang-orang dari berbagai perusahaan.
Bapak suka bercerita kalau jadi PNS itu godaannya besar. Peluang untuk mendapat "penghasilan sampingan" yang meragukan atau bisa jadi tidak halal. Jangan pikirkan soal korupsi, karena itu terlalu jelas, jelas-jelas haram. Tapi bagaimana dengan hadiah tanda terima kasih? Atau yang sekarang disebut gratifikasi. Dulu sih belum ada aturan itu, hanya atas dasar kepatutan dan kejujuran saja.

Kembali ke cerita Bapak. Adalah hal biasa dan sudah semestinya bagi Bapak sebagai abdi negara membantu masyarakat yang membutuhkan, baik orang biasa atau petinggi perusahaan urusannya dengan lapangan pekerjaan atau proyek-proyek. Suatu ketika salah seorang kenalan Bapak rupanya telah berhasil dalam pekerjaannya. Ketika berjumpa dengan Bapak, teman ini tampak bahagia sekali. Dan sebagai ucapan terima kasih rupanya teman Bapak memberikan sedikit hadiah. Sebutlah angka 1 juta rupiah. Jumlah yang lumayan saat itu.
Perang batin dalam diri Bapak. Terima atau tidak ya? Tahukan betapa sengitnya pertempuran di ranah abu-abu itu. Keputusan Bapak jadi menerimanya. Mungkin saat itu bapak merasa layak mendapatkannya. Toh ini juga tidak terlibat langsung dengan proyek, hanya jadi penghubung dan sudah berlalu. Padahal kalau merujuk ke pengertian gratifikasi ya itu termasuk juga.

Semua baik-baik saja sampai dalam perjalanan kendaraan bapak bermasalah. Tidak bisa diperbaiki sendiri jadi harus dibawa ke bengkel.  Cek sana sini, sudah ketemu masalahnya, kendaraan pun di servis. Biasa saja. Sampai pada saat pembayaran membuat Bapak tertegun. Jumlah tagihannya mencapai angka 1 juta rupiah.
Seketika Bapak istighfar. Langsung teringat dengan hadiah yang baru Bapak terima. Bapak termenung dalam. Seolah Allah langsung menegur dan mengambil kembali apa yang memang sejak awal bukan hak bapak.


_______

Cerita lainnya tentang seragaman keluarga dalam momen nikahan. Kabar bahagia datang dari buleku di Kalimantan. Anaknya akan menikah dan ini menjadi berita gembira yang heboh di keluarga besar. Semua orang sudah menduga akan digelar pesta besar-besaran karena memang keluarga gedongan.

Hajatan besar sama dengan budget besar juga. Keluarga bulek memang baik dan karena kebaikan itu maka beliau mengundang sekaligus membagikan kain dan brokat kepada anggota keluarga besar. Sudah tahu dong buat apa? Buat seragaman sekeluarga di hari pernikahan tentunya.
Senang diberi kain bagus. Harusnya begitu ya. Tapi ternyata engga semua berpikir begitu. Untuk keluarga ekonomi pas-pasan menjahit baju berbrokatan itu tidak murah. Apalagi kalau anggota keluarganya banyak. Kalau datang ke acara tidak pakai seragam dan berbeda sendiri dengan keluarga lain? Oh tidak. Atau sengaja bikin sesuatu agar berhalangan hadir di hari H padahal info acara udah sebulan sebelumnya? Jadi malah repot cari-cari alasan.

Saat itu keluargaku sudah konfirmasi tidak bisa datang karena jauh domisili kami di Bandung. Lain cerita kalau dibelikan tiket hehe..
Beberapa hari kemudian datang paket yang lumayan berat. Ternyata isinya adalah kain seragam dan brokatnya. Waah baik banget, walau aku tidak bisa datang tetap diberi jatah. Hanya saja aku tidak perlu buru-buru menjahitnya karena kan gak bisa datang. Akhirnya kain itu disimpan saja.

Beberapa bulan kemudian, dalam rencana yang penuh kejutan kami pun pindah ke Kalimantan provinsi paling timur. Sortir ketat hanya membawa barang-barang yang diperlukan. Kain dan brokat dari bulek termasuk yang dibawa. Sekian waktu berlalu wujudnya masih sama, tak kunjung ku bawa ke penjahit. Ah nanti saja kalau sudah di Kaltim, sekalian minta rekomendasi penjahit sama keluarga.
Itu sih rencananya ya. Sampai suami dapat undangan nikah dari teman kantornya. Jujur kondisi keuangan sedang mepet banget saat itu. Maklum kami habis pindahan akbar dari Jawa Barat ke Kalimantan Timur. Habis-habisan untuk transpor pindahan dan juga bekal survival di tempat baru. Waktu itu kondisiku sedang hamil juga. Sehingga membeli kado termasuk pengeluaran tidak terduga tapi aku tidak ingin kami datang tidak memberi apa-apa ke pasangan yang baru menikah itu. Bisa tebak apa yang terjadi? Ya, kain dan brokat dari bulek itulah yang dijadikan hadiah. Aku mengecek sekilas kondisi kainnya. Masih bagus dan layak. Aku tidak mau memeriksa lebih detil takut jadi tidak rela melepas. Lagipula untuk apa ku tahan kalau tak kunjung dijadikan pakaian dan digunakan ?
Setelah hadir di pernikahan itu. Suami menerima pesan dari temannya yang jadi pengantin. Sebuah ucapan terima kasih dan senang dengan kado kami. "Kainnya bagus, Pak."
Rasanya senang sekali. Eh tapi, diantara sekian banyak kado nikahan kok bisa tahu itu kado dari kami? Padahal tidak ada ucapan apa-apa di dalamnya.


Beberapa waktu berlalu. Ada undangan pernikahan lagi, kali ini dari sepupu. Kali ini harus datang. Alasan apalagi kan kami sudah dekat tinggal di kota yang sama. Siaplah insyaallah.
Suatu hari aku berkunjung ke rumah orang tua dan ada saudara-saudaraku juga disana. Momen yang pas untuk koordinasi keberangkatan ke acara nikahan sepupu. Sampai pada bahasan,
"Supaya seragam dan gak perlu jahit lagi, kita pakai baju yang dulu nikahan anaknya bulek ya".
Jedeeerrrr.. agak panik tapi berusaha kalem. Gawat! Bagaimana bilangnya yaa kalau si kain itu tidak pernah aku apa-apa kan malah dijadikan kado ke orang.
"Harus seragamkah? Baju itu sudah gak muat eh. Kalau yang warna senada ada."
 Wah, perkataan dari saudariku menyelamatkan. Aku sangat mendukung, dong. Akhirnya ke kondangan dengan baju berbeda dengan tone warna yang serupa.
Aku merasa urusan kain itu beres dan tidak perlu merasa bersalah kalau tidak punya. Aku pun melupakannya.

Sampai sekitar 2 minggu lalu, Ibu berkunjung ke rumah ibunya di luar kota. Hanya menginap semalam. Lalu kembali dan ketika bertemu denganku memberikan sesuatu. Itu adalah baju kepunyaan mbah yang sudah tidak dipakai. Kebesaran bagi ibu jadi diberikan kepadaku.
Sama seperti Bapak yang termenung saat menerima tagihan servis kendaraan, aku juga sempat takjub. Karena baju yang ibu berikan adalah baju seragaman dengan bahan yang sama dari bulek untuk aku. Ukuran ya pas. Kain ini aku miliki lagi. Kali ini aku terima dalam bentuk tinggal dipakai. Tanpa pusing urusan jahit lagi.

Terasa nyata sekali, bahwa rejeki tidak pernah salah alamat. Valid.

5 comments:

  1. Suka sekali Teh dengan tulisan slice of life begini. Wah valid ya Mah, "Rezeki tidak pernah salah alamat." :)

    Membaca yang kasus kain brokat untuk dijadikan seragam nikah, jadi inget dengan obrolan di group ehehe.

    ReplyDelete
  2. Waduh bener juga ya, aku nggak pernah kepikiran baju seragam kawinan itu perlu dipakai lagi. Biasanya langsung masuk box atau diberikan ke orang lain. Bisa repot juga ya kalau sampai diminta dipakai lagi.

    Tapi aku emang pernah sih kejadian ngasih kerudung seragaman setelah dipakai sekali. Kerudungnya kainnya nggak bagus. Kupikir, ya nggak perlu dipakai lagi setelah dipakai di sebuah acara. Langsung kukasih orang lain. Taunya diakhir tahun diminta dipakai lagi. Duh...malunya jadi belang sendiri. Alasanku lupa naruhnya dimana.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tergantung desain mungkin ya teh. Kadang yang bikin kita males pake lagi karena terlalu gonjreng/ heboh/ mewah/ ribet. Kondangan biasa bajunya terlalu istimewa gak tega kena bumbu makanan haha.
      Trus kalau ada yg kita kasi ke orang krn kita pikir daripada menuh2in lemari kan. Mending berguna di yang lain. Eh ga taunya ada yang ngajakin pakai baju itu lagi. Shock deh

      Delete
  3. Unik ya setelah beberapa tahun akhirnya bisa dapat baju dari kain yg tadinya udah dikasihin ke orang lain. memang benar rejeki tidak salah alamat dan ada bagian masing-masing

    ReplyDelete
    Replies
    1. Benar sangat teh..
      Jadi ga perlu kita sikut2an sama rejeki orang lain..
      Makasih teh Risna sudah menjejak

      Delete